an Elegy Behind the Black Clouds



Aku menyusuri jalanan becek ini seorang diri. Tak ada seorang pun yang terlihat di jalan ini, mungkin mereka enggan keluar rumah karena hujan terus saja mengguyur kota sejak pagi. Aku menghirup nafas panjang, mencoba mencium aroma hujan yang khas, dan menikmatinya.

Hujan sudah reda ketika aku sampai di depan rumah. Aku membuka gerbang dan meletakkan payung di teras. Baru beberapa saat aku mencoba merapikan rambut dan jaketku, hujan turun lagi.

Aku melangkah lagi ke jalan setapak, air hujan membasahiku seketika. Aku sungguh mencintai hujan, bahkan ketika semua orang mengeluh karenanya, aku tetap mencintai hujan. Lalu ku coba menatap langit di atas mataku, benar-benar kelabu, seperti hatiku.

Entah kenapa, tiba-tiba aku menangis.

Aku mencoba menghapus air mataku, namun tak berguna karena air hujan justru menghapusnya lebih dulu.
Hujan hari ini seolah menumpahkan semua derita yang ku alami. Aku terduduk di jalan becek itu dan menangis sejadi-jadinya.
Hujan hari ini seolah memberiku kesempatan untuk berteriak atas semua duka yang menimpa. Bahkan hujan tetap saja setia mengguyur ketika badanku mulai menggigil.

Aku sungguh mencintai hujan...

Pada akhirnya, hujan pun tahu apa dan siapa yang aku tangisi. Hujan pun mengerti sakitnya perasaanku saat ini. Hancurnya harapan dan rasa kehilangan seseorang dari kehidupan.

Hanya hujan yang tahu betapa aku merindukan orang itu saat ini. Aku sungguh mencintai hujan, seperti aku mencintainya. Aku setia menunggu hujan reda, sampai nanti ketika hujan memulihkan luka, dan aku akan tetap merindukannya sampai hujan tak lagi meneteskan duka...

”Meski ku tak tahu lagi engkau ada di mana,
dengarkan aku... ku merindukanmu....”

0 komentar: