DANIA

Aku melihat Nafis menangis. Mungkin menangisiku. Aku tak begitu tahu. Aku mencoba menggenggam tangannya, tapi dia menolak. Rasa benci, pasti sudah menguasai hatinya. Dia tetap terisak, dan aku, aku hanya bisa diam. Aku membiarkan air mata Nafis tumpah. Sungguh bukan hal yang kuinginkan. Aku benci jika Nafis menangis.
Sedetik kemudian, Nafis berlalu dari hadapanku. Tatapan matanya seolah mengatakan dia tak sudi melihatku lagi. Kakiku terasa berat sekali, aku tak bisa berdiri dan mencegah Nafis pergi. Aku tetap duduk di sini, dan terdiam.
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Aku kangen sekali dengan Nafis. Uuuhh, dia benci padaku sekarang. Aku tersentak ketika handphoneku berbunyi, Dania menelpon. Aku tak mengangkatnya, tapi Dania kembali menelpon, 3 kali berturut-turut.
Aku melepas kacamata lalu mengangkat telpon dari Dania. Dia begitu bersemangat, dia begitu ceria. Dania menanyakan keadaanku hari ini, dia tertawa dan tertawa. Begitu lepas. Seandainya dia tahu, hari ini aku buruk sekali.
Dia tetap saja tertawa, dia selalu membuatku ikut tertawa. Dia selalu seperti ini, tidak pernah mengeluh, yang dia lakukan adalah mencoba membuatku tertawa. Setiap hari.
keesokan harinya, aku mencari Nafis di kampus. Hari ini dia kuliah jam 10 di lab kimia. Nihil. Dia tak ada di manapun. Aku benci seperti ini. Aku benci tidak bisa bertemu Nafis, bahkan handphonenya pun terasa sangat kompak, tidak aktif.
Aku hampir-hampir terjatuh di parkiran ketika Dania memanggilku. Dia melambaikan tangannya dan berlari mendekatiku. Dia terlihat cantik. Dan seperti biasanya, dia tertawa padaku. Tawanya melumerkan semua rasa benci di hatiku. Dania menggandeng tanganku, kami memutuskan untuk pulang ke kostku.
Dania mulai menceritakan banyak hal, semua hal yang dia katakan selalu saja memaksaku untuk tertawa. Aku seperti melayang, aku lupa, seharusnya aku mencari Nafis.
Aku tak tahan. Aku mengecup bibir Dania. Aku senang melakukannya. Dia pun sama. Dania melepas kacamataku, kami berciuman, lidah kami berkelindan. Aku melayang untuk kesekian kalinya.
Aku segera memakai celana dan kaosku, tiba-tiba aku ingat pada Nafis. Dania terlihat kecewa dengan sikapku tadi. Aku memakai kacamataku. Aku duduk di atas kasur, Dania masih berbaring di situ.
Dia kembali menanyakan keadaanku. Aku benci sekali padanya. Aku sungguh benci pada Dania. Aku bahkan menyesal bertemu dia. Dania membuatku hilang keseimbangan.
Dania lalu diam. Dia segera merapikan bajunya, dia membenahi isi tasnya. Dia mencium pipi kananku, lalu pamit pulang. Dan, aku melihat dia meneteskan air mata ketika dia keluar dari kamarku.

Pagi ini aku bertemu Nafis, aku mengejar dan menarik lengannya. Bisa dibilang, aku kasar. Dia berontak dan mencoba melepaskan tangannya. Aku membujuknya untuk bicara sebentar. Aku benar-benar ingin mengatakan sesuatu padanya.
Nafis setuju. Kami duduk dan diam cukup lama. Aku memberanikan diri membuka obrolan. Wajahnya suram, dia masih sangat marah.
Aku mencoba menenangkannya, dan aku beruntung dia mau mendengarkanku. Aku meminta Nafis untuk melepaskan aku, aku tidak ingin menyakitinya lagi. Nafis menggenggam tanganku.
Aku tak ingin banyak bicara, jadi aku hanya mengulangi kata-kataku tadi. Aku ingin Nafis melepaskan aku. Nafis langsung menangis, uh, aku benci jika seperti ini. Nafis bertanya apa alasannya, apa salahnya. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya mengatakan tiga kata, aku tidak sanggup.
Aku meninggalkan Nafis di kampus. Aku meninggalkan perempuan yang selama ini aku kira aku mencintai dia. Dan aku tahu aku salah, aku tak pernah mencintai dia. Aku justru memaksakan diri.
Aku pulang, aku kembali ke kost. Aku cukup kaget karena ternyata Dania ada di sana. Dia membawakan aku roti tawar dan selai strawberry kesukaanku. Aku tak bereaksi apapun, aku membuka pintu kamar dan menyuruhnya masuk.
Dania membuka roti dan segera mengolesinya dengan selai. Aku hanya memperhatikan gerakannya. Dia sama sekali tak mengatakan apapun. Dia mengambil piring di atas portofolioku, dia menaruh roti itu di piring dan memberikannya padaku.
Dania duduk di sebelahku. Dia menungguku bicara. Aku segera memeluknya, kencang sekali. Dia mengusap-usap kepalaku. Aku berbisik di telinganya. Aku mencintai dia, aku tidak ingin dia pergi. Tapi dia tetap diam. Aku melepaskan dekapanku. Dia hanya tersenyum
Dania bilang, dia sudah mengatakan cinta padaku berulang kali. Dan aku tak pernah menghiraukan kata-katanya, sampai aku menyadari, aku juga mencintai dia. Aku kembali memeluknya, aku memintanya menjadi istriku. Dania menganggukkan kepalanya.

0 komentar: