(...inSomNia)

Aku mencari-cari, apa yang sedang ku pikirkan. Sudah tiga hari ini aku tidak tidur. Aneh memang. Karena itu, aku mencoba untuk menjalani hari seperti biasanya.
Pagi hari aku bertemu Vino, lalu kami berdua naik angkutan umum menuju sekolah. Kami banyak bercerita sepanjang jalan, mengomentari kesibukan jalanan yang kami lewati. Tanpa ku sadari, orang-orang di dalam angkutan sedang memperhatikan kami. Huh, aku benci jika ada orang yang menatap tajam padaku dan Vino, seakan-akan kami adalah makhluk asing yang akan menginvasi bumi mereka.
Aku segera menarik tangan Vino ketika supir meneriakkan nama sekolah kami, SMA Pancasila, tanda bahwa kami sudah sampai dan harus segera turun. Vino tiba-tiba tertawa saat kenek mengembalikan uangku. Katanya, aku bayar terlalu banyak. Aneh, biasanya aku dan Vino juga membayar dengan nominal yang sama.

Kami tetap saja saling bercerita, Vino mengantarku sampai ke depan kelas. Dia lalu melambaikan tangan dan berlari menuju kelasnya sendiri.
Aku mengikuti pelajaran seperti biasa. Mengerjakan soal-soal kimia dan biologi pada jam terakhir. Dan ketika bel berbunyi, anak-anak dengan segera memasukkan semua buku ke dalam tas masing-masing dan bersiap untuk pulang.
Saat aku keluar kelas, Vino sudah menunggu di depan kelas, dia duduk di bangku panjang bersama anak-anak kelas lainnya. Aku tersenyum dan segera menggandeng tangannya. Kami memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki. Dia bilang siang ini mendung, dia ingin bermain hujan denganku.
Ternyata memang benar, lima menit kami keluar dari sekolah, hujan segera mengguyur dengan derasnya. Tapi Vino tetap tenang, bahkan dia menyuruhku untuk tetap berjalan di sampingnya. Dia bilang, air hujan akan memulihkan semua luka kehidupan.

Vino lalu merangkul pundakku dan memintaku tersenyum, dia hanya memastikan kalau aku tidak kedinginan. Ah, dia memang selalu membuatku merasa berharga.
Ketika sampai di rumah, Bunda sudah menungguku di teras. Wajahnya begitu khawatir. Dia segera berlari dan memelukku. Dengan sejuta pertanyaan dia menyerangku, dia menangis, aku tidak mengerti. Diambilkannya handuk, dia mengeringkan badanku sambil menangis. Bunda, aku hanya main hujan dengan Vino, aku baik-baik saja. Tapi Bunda sepertinya tidak begitu peduli dengan kata-kataku.
Setelah mandi, aku mulai membaca materi fisika di buku catatanku. Besok ulangan. Tapi, aku tidak betah membaca materi itu. Aku malah memikirkan Vino. Aku kangen sekali padanya.
Aku mencoba menelpon ke handphonenya, tapi tidak aktif. Kenapa ya? Hmmm, mungkin dia juga sedang belajar. Aku memutuskan untuk belajar lagi sampai jam sepuluh.
Aneh, mataku rasanya tetap tajam. Aku sama sekali tidak mengantuk. Tiba-tiba Bunda masuk ke kamarku, dia menyuruhku untuk tidur. Aku hanya mengangguk lalu mencium pipinya.
Bunda lalu keluar setelah memastikan aku terbaring di kasurku. Aku masih bisa mendengar suaranya di ruang tamu, dia berbicara dengan Ayah. Sepertinya serius sekali, tapi aku tidak ingin tahu.
Aku mencoba rileks dan menutup mata setelah menyalakan musik relaksasi di MP4-ku. Tidak ada bayangan apa-apa yang muncul di kepalaku. Aku yakin, aku tak memikirkan apa atau siapa, bahkan Vino. Aku tetap tidak bisa tidur.
Jam 2 pagi, Ayah dan Bunda pasti sudah tidur. Aku keluar kamar menuju dapur, lalu meminum segelas air putih. Aku menyalakan televisi di ruang tengah, mencari chanell yang masih menyiarkan programnya sampai tengah malam.
Aku menonton filmnya Mel Gibson, The Patriot, berharap aku bisa mengantuk saat menontonnya nanti. Tapi tidak, aku tetap terjaga sampai Bunda bangun untuk sholat Subuh.
Bunda yang kaget melihatku langsung duduk di sebelahku, dia memelukku. Dia menangis lagi dan memintaku untuk tak memikirkan apapun lagi.
Aku balas memeluknya, aku memintanya untuk tidak menangis lagi. Aku tidak apa-apa. Jadi untuk apa Bunda menangis? Aku berjanji padanya.
Aku tetap merasa segar ketika berangkat sekolah. Aku menunggu Vino di tempat biasa. Lama. Lama. Vino tidak datang juga. Aku melihat jam di tanganku, jam tujuh lewat sepuluh. Kami sudah terlambat sepuluh menit. Lalu aku menelponnya, masih tidak aktif. Aku mulai khawatir.
Aku kembali ke rumah. Aku malas berangkat kalau tidak ada Vino. Bunda bertanya padaku kenapa aku kembali. Aku bilang, aku sudah menunggu Vino tapi Vino tidak datang ke tempat kami biasa bertemu sebelum berangkat sekolah.
Seketika Bunda memelukku lagi. Dia menangis. Dia mengusap-usap kepalaku lembut. Aku tetap tidak mengerti, kenapa belakangan ini Bunda suka sekali bersikap hiperbol. Aku meyakinkan Bunda bahwa tak terjadi apa-apa, dia tak perlu sekhawatir itu padaku.
Bunda mengambilkan segelas air putih untukku. Sambil terisak-isak dia membelai rambutku. Ah, aku semakin bingung dengan sikap Bunda. Aneh.
Aku kemudian memberitahunya, aku dan Vino tidak bertengkar. Aku harap dia bisa sedikit lega setelah mendengar itu, tapi aku salah, tangisnya justru semakin deras.
Aku terdiam. Beberapa saat kemudian setelah dia tenang, dia mulai bicara. Dia memintaku untuk tidak mengkhawatirkan Vino lagi. Vino sudah bahagia, dan Bunda memintaku untuk tidak membebani Vino.
Aku tetap tidak mengerti perkataan Bunda. Setelah mendengar banyak pesan dari Bunda, aku masuk kamar. Ada foto Vino terpampang di bingkai dekat jendela. Aku meletakkan tasku, dan mengambil fotonya. Aku memandanginya. Dia sangat manis.
Aku tertawa mengingat semua hal indah yang pernah kami alami. Dan tiba-tiba, rasa sesak datang menyergap seluruh pembuluh darahku. Aku manatap foto itu lekat-lekat. Melihat senyumnya. Tidak, dia tidak tersenyum. Aku berteriak, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku melempar foto itu ke jendela. Bingkai itu pecah berantakan. Seberantakan hatiku, aku tersadar, ya, aku tersadar. Aku mengerti kata-kata Bunda. Vino sudah pergi, meninggalkan sejuta kenangan kami empat hari yang lalu, untuk selamanya.

SELAGI KAU LELAP

Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu.

Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal ?

Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bias terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.

Sudah hampir tiga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini : 4.354.560.000

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi…

Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Sekarang pukul 02.30 di tempatmu.

Tak terasa sudah satu jam aku di sini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tidak juga yen, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah terlalu tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada gulingmu… sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretensi? Itulah surge. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tidak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai Tanah Perjanjian.

Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.

Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang… tak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan? Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.

Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.

Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… mereka masih beran tersenyum dan saling menyapa ‘selamat pagi’.

BY DEWI LESTARI ‘DEE’

Cerpen favoritQuw… =)

;;