Aku berjalan di sebelah Irin, mencoba mengimbangi langkahnya. Dia diam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku. Aku memandangi wajahnya yang putih, ada tahi lalat di pipi kanannya. Lamunanku buyar begitu saja saat dia menepuk pundakku.
“ Woii… ih, garing! Kenapa kamu diem aja sih…?” Kata Irin sambil memperbaiki kunciran rambutnya. Dia memanyunkan bibirnya seperti biasa kalau dia merasa bosan. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
“ Lah, kamu juga diem aja kok…” Kataku.
Dia menggaruk kepalanya dan mendesah, “ Nov, aku takut kamu bosen sama aku…” katanya lagi, Irin menatap langit. Matanya sedikit sayu.
Entah kenapa, ketakutan yang dia katakan terasa menyerangku juga. Aku tidak begitu mengerti kenapa dia mengatakan hal itu.
“ Kok tanya kayak gitu sih? Apa kamu yang bosen sama aku?” aku balik bertanya kepadanya.
Dia langsung menatapku tajam. Matanya melotot, bola matanya seakan mau keluar. Dengan gerakan yang begitu cepat dia mencubit lengan kiriku.
“ Ya gak mungkin lah…, aku harap, aku bisa sayang terus sama kamu Nov…” Dia berbicara tanpa berkedip menatap mataku.
Aku tidak tahu kenapa, aku merasa sangat senang saat Irin mengatakan hal itu. Mungkin cewek bisa juga menggombali cowok, dan aku rasa aku tidak bodoh. Dia jujur, aku tahu itu. Aku tahu dia menyayangi aku, dengan tulus.
……………………………….
Aku meletakkan tasku di atas meja. Pagi ini sebenarnya aku masih mengantuk, malas sekali berangkat ke sekolah. Aku mengarahkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Seperti biasa, anak-anak cewek sudah berkumpul di pojok kelas untuk berbagi gosip-gosip tidak bermutu.
Aku tersentak saat bahuku ditepuk dari belakang. Aku membalikkan badan.
“ Hai…” Irin menyapaku, dia tersenyum untukku.
Aku yang tadinya agak merasa dongkol karena kaget langsung membalas senyumannya.
“ Hai, kamu kok udah di sini..? “ Tanyaku, aku mengisyaratkan padanya agar duduk di sebelahku.
Irin duduk di sebelahku, lalu menggenggam tangan kananku. Seketika jantungku bekerja semakin cepat. Kami lalu sama-sama terdiam. Aku merasa suasana menjadi kaku, jadi aku berusaha membuka pembicaraan.
“ Rin, kok tadi gak dijawab?” Tanyaku meminta jawaban atas pertanyaanku sebelumnya.
“ Mmm, emang gak boleh kalo aku pengen ketemu Novak?” Dia memandangiku.
Ah, dia selalu membuat aku merasa senang.
“ Ya boleh… aku, aku…mmmm…” aku bingung mau mengatakan apa lagi kepadanya.
Tiba-tiba dia tertawa melihatku salah tingkah.
“ Duuh, gak usah grogi kayak gitu Sayang…” Kata Irin, dia menggenggam tanganku lebih erat lagi.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. Aku semakin salah tingkah saja dengan sikapnya.
“ Bentar lagi bel, kamu balik ke kelas kamu gih…” Kataku.
Mendengar kata-kataku, Irin langsung melepaskan tanganku. Ada sedikit ekspresi kecewa di wajahnya.
“ Nanti kamu telat looh…” Kataku lagi, mencoba memberikan dia pengertian. Aku tidak ingin dia marah.
Irin lalu menganggukkan kepalanya. Dia berdiri dan merapikan roknya. Aku ikut berdiri dan berpikir untuk mengantarnya sampai depan kelasnya.
“ Aku balik dulu yah...” Irin langsung pergi setelah mengatakan itu.
Kakiku serasa terkunci di tempat. Aku tidak bisa berjalan dan mengantarnya. Aku hanya memandangi punggungnya, rambutnya yang dikuncir bergerak-gerak saat dia berjalan, semakin menjauh dari kelasku.
“ Nov, kamu masih jalan sama Irin ya?” Tiba-tiba Sheila menyerangku dengan pertanyaan itu.
Aku hanya mengerutkan dahiku, aku tidak tahu kenapa dia menanyakan hal yang tidak ada hubungan sama sekali dengannya.
“ Bego amat sih Nov, semua anak juga udah tahu kalo dia cuma mau manfaatin kamu…” Sheila mengatakan hal itu dengan berapi-api.
“ Tahu dari mana?” Tanyaku, ada perasaan enek di hatiku.
Sheila berkacak pinggang, “ Banyak buktinya, ini fakta Nov! Siapa sih cewek yang gak naksir Novak? Kamu kan atlet bola, populer di sekolah… kenapa kamu mau-maunya pacaran sama cewek kayak Irin sih?” Dia bertanya seolah-olah dia tahu segalanya tentang Irin.
Aku tidak bereaksi dengan kata-katanya. Aku hanya menghela nafas.
“ Aku saranin ya Nov, mending kamu putusin Irin deh sebelum kamu nyesel.. Irin kan cuma mau nebeng terkenal doang…!!” Sheila lalu kembali ke tempat duduknya setelah mengatakan saran dan kritiknya untukku.
………………………
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang sudah mulai sepi. Latihan hari ini cukup melelahkan karena ada beberapa anak yang bolos. Aku terus berjalan menuju tempat parkir sepeda motor. Aku melewati base camp anak-anak cheerleader, dan seperti biasa aku selalu mendengar cewek-cewek itu membicarakan para pemain basket dan sepak bola, entah kenapa namaku seperti menjadi hot news sepanjang tahun. Aku berhenti sebentar di depan base camp, sedikit ingin tahu apa yang mereka ributkan mengenai aku.
Saat itu aku langsung tersadar, mereka hanya membicarakan tentang hubunganku dengan Irin. Mereka bilang, kami adalah pasangan yang sangat tidak cocok karena Irin sama sekali tidak punya andil apapun dalam organisasi siswa dan tidak juga memiliki prestasi yang bisa dibanggakan.
Aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu dan langsung pulang untuk mandi.
………………………………
Aku menyandarkan tubuhku ke tiang gawang sambil menenggak sebotol air mineral. Pandangan mataku menyapu seluruh bangku penonton, aku berharap dapat menemukan Irin, tapi aku tidak berhasil menemukan sosoknya. Aku menundukkan mataku ke bawah, memandangi rerumputan yang tumbuh di lapangan.
“ Novak…!!” Suara teriakan itu membuat kepalaku kembali terangkat. Itu suara Irin, aku tahu.
Irin melambaikan tangannya ke arahku. Dia tersenyum. Aku suka sekali. Lalu aku berlari menghampirinya. Dia terlihat cantik dengan kaos warna hijau yang dipakainya.
Irin mengatupkan kedua tangannya. “ Maaf ya, aku telat… tadi aku nganterin adikku ke tempat les dulu…” Dia meminta maaf padaku. Kata-katanya meleburkan semua perasaan jengkel yang sempat hinggap karena terlalu lama menunggu dia.
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai tanda menerima permintaan maafnya.
“ Ih, pasti ngambek deh..? kok diem aja..?” Irin bertanya lagi, wajahnya tampak khawatir.
Aku lalu menggelengkan kepalaku. Itu saja. Kadang membuat dia khawatir sedikit membuatku senang, sekedar meyakinkan hatiku kalau Irin memang sangat menyayangiku.
Irin lalu memberiku sekaleng minuman ion. “ Maaf ya, ini buat kamu… biar mainnya semangat!” Katanya.
Aku menerima minuman itu, lalu dengan segera kukecup pipi kanannya. Dia sangat kaget karena tidak menyangka aku akan menciumnya, wajahnya memerah seketika.
“ Kalau ada Irin, tanpa minuman ion pun aku pasti semangat…” Kataku, lalu aku kembali bergabung dengan tim sepak bolaku di lapangan.
Aku belajar bahwa kita memang memerlukan pendapat orang lain dalam kehidupan kita. Tapi ketika kita mengambil keputusan yang kita tahu itu adalah tepat untuk kita jalani, kita tidak perlu peduli pandapat orang lain. Dan aku tahu, aku sangat comfort pacaran dengan cewek biasa seperti Irin.
1 komentar:
bagus....
wah ternyata kamu jago nulis..
hehehe.........
cu ....
vanilla89
Posting Komentar